Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)/Dok. Ist. |
Hal ini dikarenakan, aturan ambang batas dinilai hanya akan menguntungkan partai-partai politik besar dan tidak didasarkan pada penghitungan yang rasional.
Adapun hal itu diputuskan dalam sidang perkara Nomor 64/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
Dalam petitumnya, mereka meminta agar MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo saat membaca amar putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan, penerapan angka ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
“Penetapan besaran atau persentase ambang batas tersebut tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. Apalagi, penentuan persentase tersebut hanya menguntungkan partai politik besar,” jelas Wakil Ketua MK, Saldi Isra.
“Penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR,” imbuhnya.
Dia menilai, hal tersebut akan menyulitkan partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan.
Bahkan, menurut Saldi, apabila pengaturan tersebut terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Pemilu presiden dan wakil presiden selanjutnya pasti akan terjebak dengan calon tunggal.
Dengan mempertahankan ambang batas tersebut, MK menilai hal tersebut berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” terangnya.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, pihaknya sangat menyambut baik putusan MK yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Sebab, putusan ini akan memungkinkan seluruh partai politik peserta Pemilu 2029, termasuk Partai Buruh, dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lainnya.
“Hari ini, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa presidential threshold adalah 0 persen atau dihapus,” ucap Said.
“Dengan ini, maka pada Pemilu 2029 nantinya Partai Buruh bisa mengajukan calon presiden sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain. Ini adalah kebangkitan kelas pekerja. We are the working class,” sambungnya.
(Hawa A)