![]() |
Anggota Komisi VIII DPR RI Mafirion, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)/Liputanesia.co.id/Foto: DPR RI - Editor: Abdul Mutakim. |
Meski Indonesia mencatat nihil serangan teror di tahun ini, Mafiron menilai ancaman terorisme tetap nyata dan membutuhkan perhatian serius.
“Tak cukup uang Rp400 miliar. Pertama, kita melihat bahwa kita ada di rangking 31 dunia (peringkat sebaran aksi terorisme dan radikalisme pada tahun 2024). Yang kedua, kita zero (zero terrorist attack) tahun 2024. Tapi, di lembaran (paparan) berikutnya ada 9.640 konten yang berbahaya. Bayangin, dalam satu tahun ada (hampir) 10.000 konten yang mengajak orang untuk melawan negara ini,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XIII dengan Kepala BNPT di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Meskipun ancaman terorisme dan radikalisme sudah jelas, Mafiron menyebutkan bahwa pencegahan terorisme belum masuk dalam 17 Program Prioritas yang diusung oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Dirinya juga meminta agar rencana besar Astacita tetap memasukkan penguatan keamanan sebagai salah satu prioritas.
Ia juga menyoroti potensi kerentanan sosial yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku radikalisme, terutama di tengah program hilirisasi, pangan, industri, dan investasi yang dicanangkan pemerintah.
Menurut Mafiron, ketimpangan sosial dapat meningkatkan risiko radikalisasi, khususnya pada masyarakat rentan.
“Tapi jangan salah, kalau ada 36 daerah yang berbahaya terorisme, bukan berarti 500 daerah lainnya tidak berbahaya. Karena kenapa? karena statistik penduduk kita tuh 63% angkatan kerja kita itu tidak tamat SMP, tidak tamat SMA yang sangat rentan terhadap hal-hal seperti ini,” jelas Politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Mafiron mendorong agar Komisi XIII DPR RI lebih memperhatikan alokasi anggaran BNPT dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan terorisme, mengingat angka intoleransi yang cukup tinggi di Indonesia.
“Jadi kita harus memberi perhatian kepada BNPT terutama memberi tempat kepada masyarakat ikut serta membantu BNPT, tidak hanya lembaga pemerintah tapi masyarakatnya untuk ikut membantu. Karena kalau lihat persentase intoleransi 30 persen bahaya itu, 10 persen saja orang saja intoleran itu sudah berbahaya apalagi 30 persen,” tandasnya.
“Tak cukup uang Rp400 miliar. Pertama, kita melihat bahwa kita ada di rangking 31 dunia (peringkat sebaran aksi terorisme dan radikalisme pada tahun 2024). Yang kedua, kita zero (zero terrorist attack) tahun 2024. Tapi, di lembaran (paparan) berikutnya ada 9.640 konten yang berbahaya. Bayangin, dalam satu tahun ada (hampir) 10.000 konten yang mengajak orang untuk melawan negara ini,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XIII dengan Kepala BNPT di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Meskipun ancaman terorisme dan radikalisme sudah jelas, Mafiron menyebutkan bahwa pencegahan terorisme belum masuk dalam 17 Program Prioritas yang diusung oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Dirinya juga meminta agar rencana besar Astacita tetap memasukkan penguatan keamanan sebagai salah satu prioritas.
Ia juga menyoroti potensi kerentanan sosial yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku radikalisme, terutama di tengah program hilirisasi, pangan, industri, dan investasi yang dicanangkan pemerintah.
Menurut Mafiron, ketimpangan sosial dapat meningkatkan risiko radikalisasi, khususnya pada masyarakat rentan.
“Tapi jangan salah, kalau ada 36 daerah yang berbahaya terorisme, bukan berarti 500 daerah lainnya tidak berbahaya. Karena kenapa? karena statistik penduduk kita tuh 63% angkatan kerja kita itu tidak tamat SMP, tidak tamat SMA yang sangat rentan terhadap hal-hal seperti ini,” jelas Politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Mafiron mendorong agar Komisi XIII DPR RI lebih memperhatikan alokasi anggaran BNPT dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan terorisme, mengingat angka intoleransi yang cukup tinggi di Indonesia.
“Jadi kita harus memberi perhatian kepada BNPT terutama memberi tempat kepada masyarakat ikut serta membantu BNPT, tidak hanya lembaga pemerintah tapi masyarakatnya untuk ikut membantu. Karena kalau lihat persentase intoleransi 30 persen bahaya itu, 10 persen saja orang saja intoleran itu sudah berbahaya apalagi 30 persen,” tandasnya.