Pakar Hukum Tata Negara UMY King Faisal Sulaiman saat menyampaikan pendapatnya tentang rencana pengesahan RUU Pilkada oleh DPR di kampus UMY, Jumat (23/8/2023/4)/Liputanesia/Foto: FH UMY-Rio. |
Hal ini pun menuai banyak kontra, sebab sikap DPR yang tidak mengindahkan putusan MK dinilai sebagai salah satu bentuk pembangkangan konstitusi, oleh pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
Ada dua poin perubahan Rancangan UU (RUU) yang disepakati oleh Baleg DPR. Pertama, mengenai batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur menjadi 30 tahun terhitung sejak pelantikan, sedangkan calon walikota dan calon wakil walikota 25 tahun terhitung saat pelantikan.
Kedua, berkaitan dengan threshold kepala daerah (ambang batas pencalonan kepala daerah). Threshold kepala daerah jalur partai hanya untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPR Daerah (DPRD), sedangkan partai yang memiliki kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD.
Pakar Hukum Tata Negara UMY King Faisal Sulaiman turut memberikan pandangan mengenai sikap DPR. Faisal mengatakan bahwa DPR seharusnya menitikberatkan segala keputusan sesuai dengan kepentingan dan apresiasi masyarakat. Dengan demikian, ketika DPR akan membuat undang-undang partisipasi publik menjadi hal yang fundamental.
Apabila DPR memiliki kepekaan seharusnya ia akan meletakkan kepentingan masyarakat di atas segala-galanya dan mendengarkan hati nurani rakyatnya, karena sesuai dengan namanya bahwa mereka adalah wakil rakyat. Konsekuensinya adalah DPR pasti akan tunduk dan patuh untuk melaksanakan keputusan MK itu. "Akan tetapi rasanya saat ini wakil rakyat kita sudah berubah menjadi wakil penguasa,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Jumat (23/8/2024).
Faisal mengingatkan bahwa keputusan MK tidak dapat dibenturkan dengan keputusan MA, karena MK di Indonesia berlaku sebagai The Guardian of Constitution. Artinya, segala keputusan MK bersifat final yang memiliki kekuatan hukum tetap, mengikat dan berlaku seketika.
Dosen Fakultas Hukum (FH) ini menekankan biarpun kerabat terdekat ikut berkontestasi dalam pesta demokrasi khususnya Pilkada, Indonesia tetaplah menjadi negara hukum sehingga mematuhi aturan tetap menjadi kewajiban. Apabila aturan yang sudah dibuat secara terus menerus dilanggar, maka Indonesia bukan lagi negara hukum tetapi berubah julukan menjadi negara kekuasaan. Hal tersebut akan berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara.
Jika kecacatan tata negara hukum ini terus berlanjut dan dibiarkan maka dapat dipastikan akan terjadi pembangkangan terhadap konstitusi. "Parahnya lagi dapat menimbulkan pembangkangan sipil seperti yang terjadi pada tahun 1998,” ungkapnya.
Pada dasarnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki kewenangan untuk dapat menggunakan hak prerogatifnya, yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) untuk menghentikan kekacauan hukum di Indonesia.
Jika presiden meletakkan kepentingan bangsa dan negara, sebagai langkah darurat bisa mengeluarkan Perpu. Perpu sendiri memiliki kekuatan yang sama dengan UU Dasar (UUD). Akan tetapi, perpu ini jangan sampai kontradiksi dengan putusan MK. Saat ini yang menjadi persoalan adalah apakah presiden memikirkan kepentingan bangsa? "Saya rasa Perpu tidak dikeluarkan karena beliau tersandera dengan kepentingan politiknya sendiri,” ucapnya.
Faisal juga menuturkan, jika DPR benar-benar mengesahkan draft RUU ini, maka akan memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan baik itu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dampak politik dapat menimbulkan legitimasi terhadap DPR, sehingga muncul ketidakpercayaan publik terhadap wakil rakyat yang eskalatif (peningkatan yang sangat masif). Apalagi DPR secara jelas mempertontonkan pelanggaran konstitusi yang sangat berat.
Konsultan hukum UMY ini pun berharap ke depannya pemerintah perlu mengatur adanya skema sanksi yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan oleh MK. Sanksi tersebut dapat diatur dalam bentuk ketatanegaraan sehingga ketika ada pihak-pihak yang tidak menjalankan putusan dengan konsisten maka bisa terkena sanksi. "Dengan demikian, nantinya akan ada upaya paksa supaya kecacatan hukum di Indonesia tidak terulang kembali," kata dia.