Iklan

Iklan 970x250

,

Iklan

MenKopUKM Tekankan Perluasan dan Kemudahan Akses Pembiayaan Bagi UMKM

Redaksi
7 Mar 2024, 21:17 WIB Last Updated 2024-09-09T17:17:41Z
MenKopUKM Tekankan Perluasan dan Kemudahan Akses Pembiayaan Bagi UMKM/Dok. KemenKopUKM

Jakarta - Bagi sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), kemudahan akses pembiayaan masih menjadi hal sangat penting.

Bahkan, berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebanyak 47 persen kebutuhan pembiayaan ke UMKM belum dapat terlayani oleh Lembaga Jasa Keuangan.

Oleh karena itu, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM), Teten Masduki meminta agar seluruh lembaga jasa keuangan dapat terus memperbesar dan memudahkan pembiayaan ke UMKM.

Hal ini bertujuan agar dapat menjangkau karakteristik pelaku UMKM yang tidak seragam, yaitu ada Mikro, Kecil, dan Menengah.

“Pembiayaan menjadi isu penting bagi UMKM. Padahal, UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Sebagai penyedia lapangan pekerjaan, berkontribusi terhadap PDB, termasuk terhadap ekspor,” ujar Teten dalam kegiatan BRI Microfinance Outlook 2024 bertema ‘Enhancing Financial Inclusion Through Regulatory Measures and Digital Transformation Strategies’ di Menara BRILiaN, Jakarta, Kamis (7/3/2024).

Ia memaparkan, berdasarkan hasil kajian dari Ernst and Young dan AFPI (2023), terdapat tren peningkatan kesenjangan antara permintaan dan suplai pembiayaan UMKM pada 2026, yakni kebutuhan pendanaan sebesar Rp4.300 triliun dan pasokan hanya Rp1.900 triliun.

“Selain itu, indeks Literasi Keuangan masyarakat Indonesia juga terus membaik dari hanya 38,03 persen di tahun 2019 naik menjadi 49,68 persen di tahun 2022. Peningkatan literasi keuangan masyarakat mengindikasikan bahwa inklusivitas keuangan negara semakin tinggi,” paparnya.

Namun, separuh dari pelaku UMKM ada di sektor produktif seperti pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan. Di sektor-sektor unggulan domestik ini, justru serapan kredit UMKM masih rendah.

“Sebagai contoh di sektor pertanian 31 persen, dan perikanan baru sekitar 2 persen saja. Lalu, kemana sebagian besar kredit UMKM? Ke sektor perdagangan karena potensi Non Performing Loan (NPL)-nya rendah,” ucapnya.

Teten menjelaskan, para produsen pangan petani rata-rata memiliki sekitar 0,3 hektare (ha) untuk produksi.

Maka, perlu adanya agregator agar para petani bisa terhubung ke market atau industri, namun mereka tidak bisa menjadi ekosistem pembiayaan seperti perbankan.

Sementara di India, agregator diberi kewenangan untuk membeli, dan mereka boleh mengakses dana perbankan sebesar 3 persen.

“Jadi, bank tidak mau memberikan pembiayaan ke petani kecil, karena potensi NPL tinggi, hingga potensi gagal panen. Maka, perlu adanya offtaker dalam hal ini,” jelasnya.

Lebih lanjut, Teten mengungkapkan bahwa Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) memiliki proyek percontohan atau mini excercise di Koperasi Al-Itifaq Ciwidey.

Koperasi ini memiliki 1.200 petani yang menyuplai sayuran yang awalnya 8 ton per hari menjadi 80 ton per hari ke ritel modern Superindo dan AEON.

Awalnya, perbankan belum mau membiayai petani kecil, tetapi ketika disuntikkan dana bergulir ke koperasi untuk memperkuat permodalannya kemudian koperasi memberikan dana tunai ke petani sehingga mereka bisa berproduksi memasok ke pasar, bank baru mau masuk untuk memperkuat pembiayaan.

“Ini yang saya maksud. Selain soal penjaminan, asuransi, ekosistem seperti ini yang harus kita bangun. Yang awalnya dibeli tengkulak sekarang dibeli oleh koperasi, petani menjadi terencana produksi karena sesuai permintaan pasar, sehingga tak mungkin produk petani tak dibeli. Hal ini menciptakan kesejahteraan bagi para petani dan produk ke industri,” ungkapnya.

(Hawa A)

Iklan