![]() |
Foto: Ketua MK Suhartoyo/Dok. Ist |
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) membuat terobosan hukum. Pemberlakuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold pada 2029 sudah tidak berlaku lagi.
MK dalam putusannya, Kamis (29/3/2024), mengabulkan sebagian gugatan uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengenai ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4% suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dalam Sidang Pleno MK yang dipantau secara daring di Jakarta itu.
MK memutuskan norma pasal 414 ayat 1 UU Pemilu adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.
Keputusan MK ini karuan saja mendapat sambutan positif dari mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD. Dia memuji putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang menghapus ketentuan parliamentary threshold sebesar 4% suara sah nasional.
Adapun penghapusan ambang batas tersebut itu baru dapat berlaku pada Pemilu 2029, tidak pada Pemilu 2024 yang baru saja berlangsung.
“Bagus, memang harus begitu, berlakunya itu harus di dalam tradisi hukum di seluruh dunia. Kalau ada perubahan aturan yang memberatkan atau menguntungkan seseorang harus pada periode berikutnya,” ujar Mahfud di Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (1/3/2024).
Menurut mantan ketua MK itu, putusan soal penghapusan ambang batas parlemen tidak bisa diterapkan di Pemilu 2024. Sebab, ambang batas parlemen masih harus diputuskan oleh pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR.
“Kan disebut juga berlaku sebelum 2029, tapi yang 2024 berlaku (ketentuan) lama. Jangan bermimpi lah, yang dapat 1%, 2% lalu bisa masuk sekarang,” ujar Mahfud.
Dia mengatakan pembentuk UU harus memiliki syarat dan alasan yang jelas mengapa syarat tersebut harus dihapuskan menjadi nol atau diturunkan menjadi sekian persen. Dengan demikian, sudah pasti putusan itu tidak bisa berlaku sekarang.
“Tidak sembarang partai baru, lalu bisa masuk ke parlemen atau yang sudah masuk ke parlemen. Kalau belum sekian tahun, lalu tidak boleh ikut mencalonkan calon presiden. Nanti, harus diatur, tidak bisa berlaku sekarang, sudah pasti tidak bisa berlaku sekarang,” katanya.
Mahfud juga berharap nantinya ambang batas parlemen itu tetap harus ada minimal 2%. Hal itu sudah diatur sebagai kerangka dasar yang dibangun sejak awal reformasi.
Dalam perkara ini, Perludem menggugat frasa “partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.
Perludem ingin norma pada pasal tersebut diganti menjadi “partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara efektif secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR dengan ketentuan: a. bilangan 75% dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah daerah pemilihan; b. Dalam hal hasil bagi besaran ambang parlemen sebagaimana dimaksud huruf a menghasilkan bilangan desimal, dilakukan pembulatan”.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4% dimaksud dalam pasal tersebut.
Saldi juga menyebut angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.
Atas keputusan MK itu, Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan, Muhammad Romahurmuziy menyambut baik. “PPP menyambut baik putusan peniadaan ambang batas parlemen,” kata pria yang akrab disapa Romy.
Putusan MK yang menghapus ketentuan ambang batas, menurut dia, merupakan kemenangan kedaulatan rakyat karena setiap suara pemilih terkonversi menjadi perolehan kursi anggota DPR.
“Inilah sebenarnya esensi sistem pemilu proporsional, yakni tidak ada suara rakyat yang terbuang,” tuturnya, menambahkan.
(YRn)