![]() |
Ilustrasi kelapa sawit. |
Hal tersebut dikarenakan permintaan yang masih landai dan dipengaruhi geopolitik kurang kondusif. Di sisi lain, kebutuhan dalam negeri cenderung meningkat seiring terus tumbuhnya pemintaan minyak nabati.
“Secara umum prospek industri sawit di 2024 masih landai,” kata Mukti Sardjono di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Mengenai turunnya permintaan ekspor, lanjut dia, itu lantaran industri kelapa sawit Indonesia masih harus menghadapi berbagai tantangan. “Dari sisi ekonomi global, ketidakpastian masih membayangi pertumbuhan ekonomi global khususnya negara- negara maju,” tuturnya.
Demikian juga, kata Mukti, Amerika Serikat masih dilanda inflasi yang di atas target. China sebagai salah satu konsumen terbesar minyak sawit juga masih bergulat dengan pelemahan ekonomi pasca Covid-19. Eropa juga sama kondisi ekonominya melemah dengan defisit fiskal yang meningkat diiringi inflasi yang masih tinggi.
Sementara itu, eskalasi geopolitik global kian memanas. Eskalasi laut hitam belum mereda akibat perang Rusia dan Ukraina, yang juga memberikan dampak besar pada pasokan beberapa komoditas strategis di pasar global.
“Kini, dunia juga harus menghadapi eskalasi geopolitik di laut merah akibat perang Israel dan Palestina yang juga diperkirakan dapat memberikan dampak besar terhadap pasokan komoditas, mengingat laut merah merupakan jalur strategis perdagangan global,” kata dia.
Pada 2024 ini GAPKI memperkirakan bakal terjadi beberapa kecenderungan industri kelapa sawit. Konsumsi dalam negeri akan terus mengalami kenaikan, terutama untuk kebutuhan pangan, industri oleokimia dan kebutuhan energi (biodiesel) dengan adanya implementasi Biodiesel (B 35) secara setahun penuh (fully implemented).
“Sedangkan, harga minyak nabati dunia termasuk minyak kelapa sawit tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan 2023,” ujar Mukti Sardjono.
Selanjutnya, menurut dia, untuk memastikan peningkatan produksi dan menjamin dipenuhinya kebutuhan minyak sawit dalam negeri dan ekspor, maka beberapa upaya perlu dilakukan.
Antara lain, tambah Mukti, penyelesaian perkebunan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan. GAPKI terus mengusulkan bahwa bagi kebun sawit yang sudah memiliki alas hak baik itu SHM maupun sertifikat HGU semestinya sudah bukan Kawasan Hutan lagi.
(YRn)